Tulisan ini terus terang saya ambil secara utuh dari salah satu artikel media cetak yang basisnya berada di kota kelahiran saya. Sebuah artikel yang dibuat oleh Djoko Susilo, Dubes RI di Swiss yang notabene mantan jurnalis di media yang bersangkutan, setelah melaksanakan tugas berkaitan dengan kasus yang menurut saya pribadi lucunya luar binasa (apalagi kalau mengikuti tingkah pola pelaku utama dari kasus ini). Harapan saya, semoga apa yang saya tulis bisa menambah informasi (walau mungkin hanya sedikit..) akan perkembangan kasus ini..
MAIN PELINTIR, SUKA BOHONG
Oleh DJOKO SUSILO (Dubes RI di Swiss)
(JAWA POS, Kamis 10 Maret 2011)
Ketika saya (Djoko Susilo) menjadi reporter Jawa Pos, sekitar 25 tahun lalu, ada satu kata yang atas perintah Bos Dahlan Iskan harus dihilangkan dari perbendaharaan kami, yaitu "tidak bisa". Saya ingat, waktu itu fasilitas di Jawa Pos masih sangat minim. Pun, di Surabaya saja, pamor Jawa Pos masih kalah oleh kompetitor, apalagi di Jatim. Kalau saya kembali ke kampus UGM, masih banyak yang terheran-heran karena saya bekerja di koran yang bernama Jawa Pos. Sering ada pertanyaan yang menjengkelkan misalnya, koran tempatmu bekerja itu barbahasa Jawa tah? Kalau ada pertanyaan itu, saya jawab sekenanya : Jawa Pos itu berbahasa Inggris, kok..
Sebagai wartawan generasi awal, saya beruntung karena masih dididik dan diawasi langsung oleh Pak Dahlan. Setiap sekian pekan, kami diajak berdiskusi dalam forum yang disebut Bengkel. Forum itu sebenarnya digunakan untuk transfer teknik reporting dari bos sendiri. Tetapi, apa pun proses yang kami ikuti saat itu, kata "tidak bisa" atas tugas yang sesulit apa pun tidak boleh hilang dari ingatan kami.
Kata itu pula yang menghantui saya ketika mendapatkan tugas yang berurusan dengan FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional). Terus terang, meski saya bertahun-tahun ditugaskan di luar negeri dan lama menjadi reporter, penugasan saya sebagai wartawan Jawa Pos hampir tidak pernah berurusan dengan olahraga, apalagi FIFA. Karena itu, ketika sahabat saya, Dr Andi Mallarangeng yang sekarang menjadi Menpora, menelepon dengan misi agar saya mengklarifikasi ke FIFA mengenai kisruh PSSI, saya tercenung : Apa bisa? Untung, sikap bawah sadar saya sejak menjadi reporter Jawa Pos segera menggerakkan hati saya : Tidak ada kata "tidak bisa".
Saya bertekad harus mengerti dan memahami FIFA dan PSSI dengan baik. Makin saya bongkar-bongkar, masalahnya makin menantang. Juga menjawab sebagian pertanyaan dalam hati saya selama ini : Kenapa pengurus PSSI jika ke Zurich (kantor pusat FIFA) tidak sekalipun mengontak KBRI? Padahal, personel cabang olahraga lain, entah Percasi, PBSI, dan lain-lain, bila punya kegiatan di mana pun di Swiss memberi tahu.
Saya makin tertantang untuk menguak misteri PSSI dan FIFA itu. Apalagi setelah cek dan ricek terhadap sejumlah teman di media menyatakan bahwa ada pejabat PSSI yang sering bohong belaka. Maka, saya bertekad melaksanakan misi dengan baik dan profesional. Apalagi dari e-mail, pesan Facebook, ataupun SMS yang saya terima dari teman-teman di tanah air banyak yang memberikan dukungan. Saya yakin, pasti ada manfaat bagi masyarakat jika persekongkolan yang mengakibatkan prestasi sepak bola Indonesia makin terpuruk ini dibongkar.
Sebagai Dubes, saya tidak mengalami kesulitan untuk minta waktu berkunjung ke FIFA. Apalagi, sesungguhnya gelar saya secara resmi sangat hebat : Dubes Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia. Artinya, saya membawa kuasa penuh atas nama pemerintah dan bangsa Indonesia. Setelah saya mempelajari secara seksama, ada kecenderungan pengurus PSSI berlindung ke FIFA jika menguntungkan dan mengabaikan FIFA bila tidak sesuai dengan maunya.
Pangkal kisruh pertama memang pasal 35 ayat 4, yang dalam bahasa Inggris berbunyi, "The members of the executive committees.. must not found guilty of criminal offence.." Terjemahan wajarnya, "Anggota komite eksekutif.. tidak pernah terbukti melakukan tindakan pidana." Tetapi, ayat yang mudah dimengerti itu dipelintir dengan adanya tambahan "..tidak sedang ditemukan melakukan kejahatan ketika kongres."Ya tentu saja jauh panggang dari api. Jadi, menurut statuta PSSI, asal selama kongres -yang normalnya berjalan tiga hari- seorang calon tidak sedang diperiksa polisi atau jaksa karena suatu kejahatan, dia bisa menjadi calon sekalipun pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Ketika menemui para petinggi FIFA, saya agak jengkel. Sebab, mereka sejak 2007 membiarkan terjemahan yang ngawur itu. "You don't understand Indonesian language. Why do you in FIFA accept the wrong translation like that?" protes saya kepada seorang pejabat FIFA. Dengan enteng dia menjawab, "Sorry, Indonesian language is not the official language here." Belakangan, yang saya tahu, direktur FIFA itu sudah digarap oleh orang-orang PSSI.
Hal itu membuat saya makin sebal. Sebab, jutaan orang Indonesia yang memahami bahasa Inggris dengan baik menjadi tampak bodoh saat membaca terjemahan statuta FIFA versi PSSI itu. Tetapi, memang orang PSSI bisa berjaya dengan pelintiran tersebut selama empat tahun karena ada orang-orang FIFA yang bisa digarap.
Atas semua manipulasi itu, tekad saya untuk mengungkap borok-borok yang selama ini ada di PSSI semakin kuat. Keyakinan saya terbukti juga ketika FIFA menggelar konfrensi pers mengenai berbagai masalah, termasuk PSSI, 3 Maret lalu. Saya sengaja mengirim dua warga saya untuk melihat langsung dan memonitor apa yang terjadi di FIFA. Masalahnya, menurut laporan teman-teman wartawan, PSSI mengirim pengurusnya. Bahkan, pengurus tersebut mengaku duduk persis di depan Presiden FIFA Sepp Blatter. Segera saya kontak dua warga saya tersebut untuk memastikan kebenaran itu.
Salah seorang warga saya langsung melapor, "Di ruang ini, orang Asia hanya tiga. Selain kami berdua, ada satu orang Jepang." Dia pun memotret suasana konfrensi pers dan memastikan tidak ada wajah Indonesia, selain keduanya.
Besoknya, Jumat siang, masuk laporan kepada saya dari kawan wartawan di Jakarta bahwa pengurus yang mengaku Kamis sore duduk di depan Sepp Blatter itu sudah di sekitar Senayan. Itu tidak masuk akal. Sebab, pesawat yang terbang malam dari Zurich adalah Emirates. Pesawat tersebut tiba di Jakarta pukul enam sore. Bagaimana mungkin pengurus PSSI itu Jumat siang sudah ada di Jakarta? Apa dia punya ilmu ngrogoh sukmo sehingga bisa berada di banyak tempat dalam waktu yang sama? Kebohongan itu makin lengkap ketika Minggu, saat ditelepon wartawan lain, dia mengaku berada di Milan dan siap pergi ke Zurich lagi untuk mewakili PSSI. Saya heran bagaimana seorang pengurus teras organisasi olahraga besar berbohong secara kontinu. Sayang, selama ini banyak di antara kita yang tidak sadar dengan kebohongannya. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar